IPR di Parimo Perlu Kajian Serius, FPR Soroti Potensi Tumpang Tindih Lahan dan Risiko Lingkungan

oleh
oleh
Rapat Forum Penataan Ruang (FPR) Parigi Moutong membahas izin tambang rakyat, Kamis (31/7/2025). (Foto: Novita Ramadhan)

PARIMO, parimoaktual.com Forum Penataan Ruang (FPR) Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, menegaskan perlunya kehati-hatian dan transparansi dalam proses penerbitan rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk tambang rakyat.

Langkah ini dinilai krusial karena menyangkut kepentingan banyak pihak dan berpotensi bersinggungan dengan kawasan pertanian produktif serta lahan lindung.

“Persoalan ini menyangkut hajat hidup orang banyak, jadi tidak bisa diputuskan terburu-buru. Kejaksaan juga sudah mengingatkan, selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku,” kata Wakil Ketua FPR Parimo, Muhammad Najib, dalam rapat FPR di Parigi, Kamis (31/7/2025).

Najib menjelaskan, meski pernyataan hukum terdengar singkat, implementasinya di lapangan sangat kompleks.

Salah satunya terkait kemungkinan konflik dengan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B), yang sebelumnya telah diingatkan oleh Dinas TPHP Parimo.

“Jika kegiatan tambang menyentuh lahan itu, otomatis melanggar ketentuan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti minimnya kejelasan informasi mengenai pemilik dan luas lahan masing-masing blok tambang.

Dari 27 blok yang diusulkan berbagai koperasi, belum ada pemetaan detail mengenai siapa mendapatkan blok mana, berapa luasnya, dan apakah bersinggungan dengan lahan pertanian atau kawasan lindung.

“Harus jelas, misalnya koperasi A dapat blok 1, berapa luasnya, dan koordinatnya di mana. FPR harus turun ke lapangan karena ini mewakili 27 kepentingan yang tidak semuanya seimbang,” ujarnya.

Selain persoalan tata ruang, FPR juga menyoroti penggunaan alat berat di lokasi tambang rakyat.

Najib mengingatkan agar jumlah alat berat dibatasi untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih besar dibandingkan manfaat ekonominya.

“Kalau pun boleh menggunakan alat berat, harus dibatasi hanya satu unit. Tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan untuk eksplorasi terbatas,” tegasnya.

Menurut Najib, beberapa blok yang bersifat “bersyarat” perlu dikaji lebih mendalam dari sisi efektivitas dan dampak lingkungan.

Jika manfaat ekonominya tidak sebanding dengan risiko sosial dan ekologis, FPR menyarankan rekomendasi izin tidak diberikan.

Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam pelaporan hasil tambang. Najib bahkan mempertanyakan keakuratan informasi produksi yang disampaikan ke pemerintah daerah.

“Apakah benar pemerintah daerah bisa menerima laporan hasil 7 kilogram emas, misalnya? Kajian teknis harus rinci dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Persoalan lain adalah mekanisme ganti rugi lahan yang diusulkan sebagai kompensasi. Ia meragukan kemampuan koperasi untuk mengganti lahan terdampak, baik dari sisi hukum maupun finansial.

“Apa iya koperasi mampu mengganti lahan? Lalu lahan penggantinya di mana? Ini bukan hanya soal regulasi, tapi juga logika pelaksanaan di lapangan,” pungkasnya.

Dengan berbagai persoalan tersebut, FPR Parimo meminta seluruh proses pengajuan izin tambang rakyat dilakukan secara terbuka, berbasis kajian teknis dan hukum yang ketat, serta melibatkan lintas sektor untuk menjamin keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. (abt)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *