PARIMO, parimoaktual.com – Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) dihadapkan pada persoalan tumpang tindih antara usulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan kawasan cadangannya (LCP2B).
Plt Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Parimo, Moko Ariyanto, menegaskan pentingnya peninjauan ulang regulasi tata ruang, karena sejumlah lokasi WPR justru berada di area yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi.
“Secara legal, koperasi pemohon Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sudah memenuhi syarat. Tapi lokasi WPR yang diusulkan justru bertabrakan dengan kawasan LP2B dan LCP2B,” ujar Moko dalam rapat Forum Penataan Ruang (FPR) di Parigi, Selasa (29/7/2025).
Ia memaparkan, tiga wilayah yang diajukan sebagai WPR yakni Desa Buranga (Kecamatan Ampibabo), serta Desa Air Panas dan Kayuboko (Kecamatan Parigi Barat), sebagian besar masuk dalam area pertanian dan perkebunan.
Moko mencontohkan, blok pertambangan di Desa Buranga berada di zona LCP2B dan kawasan perkebunan.
Sementara di Desa Kayuboko, blok 1, 3, 5, dan 6 juga berada dalam kawasan lindung. Hal serupa ditemukan di Desa Air Panas, di mana blok 1, 4, dan 6 mencakup permukiman pedesaan dan LCP2B.
“Pemohon sempat menyatakan lokasi mereka tidak masuk LP2B. Tapi data kita menunjukkan sebaliknya,” tegasnya.
Mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Parimo Nomor 4 Tahun 2023 tentang LP2B, total luas lahan pertanian berkelanjutan di Parimo mencapai 65.135,20 hektare, terdiri atas 27.089,28 hektare LP2B dan 38.045,92 hektare LCP2B.
Pasal 25 Perda tersebut mewajibkan penggantian lahan jika terjadi alih fungsi, dengan ketentuan tiga kali lipat untuk lahan irigasi, dua kali lipat untuk reklamasi rawa, dan satu kali lipat untuk non-irigasi. Namun, belum ada aturan eksplisit terkait kompensasi penggunaan lahan cadangan (LCP2B).
“Kalau LCP2B dipakai untuk tambang, maka otomatis luas lahan pertanian berkurang. Secara logika hukum, Perda kita harus direvisi jika ingin itu dilegalkan,” jelas Moko.
Selain itu, ia menyoroti belum sinkronnya penetapan WPR oleh Kementerian ESDM dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Parimo.
Padahal, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah sudah menyesuaikan RTRW mereka melalui Perda Nomor 1 Tahun 2023.
Ia menambahkan, rekomendasi dari Forum Penataan Ruang (FPR) sangat menentukan dalam proses penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), yang menjadi dasar dikeluarkannya Persetujuan Teknis (Pertek) sebelum IPR diproses DPMPTSP.
“Kalau tidak ada kesepakatan FPR, maka KKPR tidak bisa keluar, dan otomatis penerbitan IPR akan terhambat,” ungkapnya.
Moko juga menegaskan pentingnya penetapan batas resmi wilayah tambang rakyat atau outer line WPR.
Ia mengingatkan bahwa aktivitas tambang ilegal sudah terjadi di luar area resmi, sehingga dikhawatirkan akan menyeret nama koperasi yang mengantongi izin.
“Penambangan liar di luar WPR sudah berlangsung. Ini harus kita cegah agar koperasi resmi tidak disalahkan jika terjadi kerusakan lingkungan,” tegasnya.
Menurutnya, revisi RTRW dan LP2B menjadi langkah krusial jika pemerintah daerah ingin melegalkan seluruh usulan WPR secara menyeluruh dan tetap selaras dengan perlindungan kawasan pangan berkelanjutan. (abt)