Kejati Sulteng Selidiki Unsur Kerugian Negara di Dugaan Korupsi Lahan Manggrove Morowali

oleh
oleh
Kasipenkum Kejati Sulteng, Laode Abdul Sofian. (Foto: Dok Kejati Sulteng)

PALU, parimoaktual.com Kejaksaan Tinggi (Kejati) bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI perwakilan Sulawesi Tengah (Sulteng) akan berkolaborasi mengungkap dugaan tindak pidana korupsi lahan mangrove seluas 30 hektar di Desa Ambunu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali.

Dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan pihak PT. Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) tengah dalam penyelidikan Kejati Sulteng.

Menurut Kasipenkum Kejati Sulteng, Laode Abdul Sofian, kolaborasi antara penyidik Kejati setempat bersama BPK RI perwakilan Sulteng melalui Auditor Negara untuk menentukan ada atau tidaknya unsur kerugian negara.

Selain itu, dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut, penyidik Kejati Sulteng telah memintai keterangan sejumlah pihak. Mulai dari pemegang surat keterangan tanah (SKT), mantan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan Kepala Desa Ambunu.

“Rencananya dalam waktu dekat penyidik Kejati akan memaparkan dugaan tindak pidana korupsi lahan mangrove tersebut. Saat ini, penyidik Kejati sedang berkoordinasi dengan Auditor Negara BPK RI perwakilan sulteng,” ujar La Ode Abdul Sofian, di Palu, Rabu (18/09/2024).

Ia menjelaskan, dugaan tindak pidana korupsi lahan mangrove tersebut, berawal dari laporan mantan Ketua BPD Ambunu, Akhmad. Yang bersangkutan melaporkan terkait penjualan kawasan hutan mangrove yang terletak di kawasan pemukiman warga.

Padahal lahan tersebut sebelumnya tidak dimiliki siapa pun. Namun, pada saat PT BTIIG masuk, kawasan hutan mangrove tersebut mulai dijual. Oleh PT BTIIG membeli lahan tersebut seharga Rp500 juta per hektar.

“Saat ini, di lahan yang telah dibersihkan itu, sudah berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang akan segera diresmikan,” katanya.

Sebelum dijual kepada PT BTIIG, kata dia, BPD Ambunu telah beberapa kali mengusulkan kepada Kepala Desa, agar hasil dari penjualan lahan tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Usulan tersebut termasuk opsi untuk membagikan hasil penjualan secara merata atau membangun fasilitas umum seperti gedung serbaguna.

“Namun, usulan tersebut diabaikan. Meskipun masyarakat khawatir hilangnya hutan mangrove akan berdampak terhadap ekosistem laut, mata pencaharian, dan perlindungan alami dari bencana abrasi pantai hingga tsunami,” pungkasnya.

Editor : Roy Lasakka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *